Selasa, 27 April 2010

ANEMIA DEFISIENSI BESI

ANEMIA DEFISIENSI BESI

1. PENDAHULUAN
Anemia defisiensi besi (ADB) masih merupakan masalah kesehatan masyarakat bukan saja karena prevalensinya yang tinggi juga karena dampaknya terhadap kesehatan ibu dan bayinya. Data menunjukkan bahwa ibu yang mengalami anemia atau defisiensi besi dihubungkan dengan partus prematurus, kematian ibu, kemungkinan berat badan ibu hamil rendah, penurunan status imun, berat badan bayi lahir rendah dan perubahan sikap pada bayi (Allen, 1997). Penelitian lain melaporkan adanya hubungan antara ADB dengan intelegent quotion (IQ) rendah, penurunan kemampuan belajar dan angka pertumbuhan pada anak (Conrad, 2003). Lebih jauh, hal ini dapat menurunkan kualitas sumber daya manusia dan rendahnya produktivitas kerja (Ross and Horton, 1998).
Wanita hamil adalah salah satu kelompok yang berisiko mengalami ADB (Conrad, 2003). Prevalensi ADB pada kehamilan di negara maju rata-rata 18% (Baker., 2000) dan prevalensi rata-rata anemia pada ibu hamil di Indonesia sekitar 63,5% (Muhilal, 2004). Sebelumnya, 80,0% dari seluruhSastromidjojo (2003) mendapatkan proporsi ADB adalah kehamilan dan relatif menetap dalam dua dekade terakhir. Hasil SKRT tahun 1995 menunjukkn bahwa prevalensi anemia pada ibu hamil adalah 50,9% (Depkes, 1999). Di Bali prevalensi ADB pada wanita hamil adalah 46,2% (Suega dkk, 2002).Upaya pencegahan telah dilakukan dengan pemberian tablet besi pada ibu hamil namun belum memberikan hasil yang memuaskan, seperti beberapa laporan berikut. Hindmarsh et al (2000) dan Rustan dkk (2001) mendapatkan bahwa berbagai jenis terapi untuk mengantisipasi anemia defisiensi besi yang diberikan selama kehamilan tidak dapat menurunkan baik morbiditas maupun mortalitas ibu dan janin. Bahkan risiko pada anemia defisiensi besi yang sedang mendapat terapi suplemen zat besi tetap ada seperti 10,2% abortus, 4,3% prematuritas, dan 7,8% pertumbuhan janin terhambat (Cuningham et al 2001; Ghattas et al 2003). Permaesih dkk (2001), memberikan tablet besi bersama dengan asam folat pada ibu hamil dengan ADB mendapatkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna terhadap risiko abortus.
Rustan dkk (2001), meneliti pengaruh penambahan asam folat, vitamin B12, dan B6 pada tablet besi untuk terapi anemia pada kehamilan dimana didapatkan peningkatan kadar hemoglobin yang tidak bermakna. Garcia et al (2003), memberikan tablet besi bersama dengan vitamin C mendapatkan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna pada peningkatan kadar hemoglobin dan risiko komplikasi kehamilan dan persalinan.. Kegagalan pemberian tablet besi pada saat wanita sedang hamil mungkin disebabkan karena rendahnya cadangan besi ibu saat mulai hamil bahkan kosong. Baker (2000) mendapatkan wanita yang memiliki cadangan besi lebih dari 500 mg hanya sebesar 20%, memiliki cadangan besi 100-500 mg sebesar 40% dan wanita tidak memiliki cadangan besi sebesar 40%. Keadaan ini bertambah berat oleh karena kebutuhan besi selama hamil meningkat dari 0,8 sampai 7,5 mg Fe/hari (Beard, 2000). Untuk mengatasi anemia defisiensi besi selama kehamilan maka cadangan besi tubuh sebelum hamil harus terisi terlebih dahulu yaitu pada masa prematernal.
2. ANEMIA DEFISIENSI BESI
2.1 Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat menurunnya jumlah besi total dalam tubuh sehingga cadangan besi untuk eritropoesis berkurang. ADB ditandai oleh anemia hipokromik mikrositer, besi serum menurun, total iron binding capacity (TIBC) meningkat, saturasi transferin menurun, dan cadangan besi sumsum tulang negatif atau feritin serum menurun serta adanya respon terhadap pengobatan preparat besi (Bakta, 2001, Conrad, 2003). Anemia adalah sebagai suatu keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb) dalam darah kurang dari normal (Depkes RI, 1999), dan kadar Hb yang disebut anemia untuk prematernal adalah 12 g% dan untuk ibu hamil adalah 11 g% (WHO, 2000).
2.2 Prevalensi Anemia Defisiensi Besi
Di dunia, prevalensi anemia sekitar 10-30%, dimana sebagaian terbesar berada di negara sedang berkembang, termasuk Indonesia (Conrad, 2003). Anemia defisiensi besi masih sebagai penyebab anemia terbanyak baik di Amerika maupun diseluruh dunia. Di Amerika Serikat, jumlah bioavailabilitas besi yang terkandung dalam diet dan dengan fortifikasi makanan serta penggunaan suplemen besi yang luas telah menurunkan prevalensi dan keparahan akibat defisiensi besi. Akan tetapi, zat besi masih tetap menjadi suatu masalah pada beberapa subgroup seperti anak-anak, wanita remaja, dan masa reproduksi. Tanpa suplemen besi, kebanyakan wanita akan mengalami defisiensi besi selama kehamilan. Pada beberapa kelompok, juga meningkatkan risiko defisiensi besi (Cuningham, 2001; Conrad, 2003). Secara umum, diperkirakan 30% dari populasi dunia yaitu sekitar 4,5 miliar menderita anemia dan setengahnya atau sekitar 500 juta orang diyakini menderita anemia defisiensi besi. Populasi yang memiliki diet dengan bioavalaibilitas besi yang rendah dan mengalami infeksi cacing mengakibatkan kehilangan darah dari saluran cerna atau keduanya akan meningkatkan prevalensi defisiensi besi (Means, 1999; Ezzati et al, 2003).

Di Indonesia, prevalensi anemia diperkirakan 40,0-50% di mana anemia defisiensi besi menempati proporsi utama, selain anemia pernisiosa, anemia aplastik, dan anemia defisiensi asam folat. Rerata angka nasional anemia yaitu 50,9% (SKRT, 1995). Di Bali, prevalensi anemia pada ibu hamil 46,2% pada tahun 1997 dan pada tahun 2002 menjadi 71,7% (Dinkes Bali, 2002). Bakta (1998) melaporkan anemia prevalensi defisiensi besi sekitar 60,45% dimana infeksi cacing tambang merupakan salah satu penyebab utama dan Suega dkk (2002) melaporkan prevalensi ADB pada kehamilan adalah 46,2%.
2.3 Penyebab Anemia Defisiensi Besi
Aktivitas eritropoetik dalam sumsum tulang, terlihat dengan bertambahnya normoblast, tidak tampak besi yang terwarnai dalam sel fagosit mononuklear di sumsum tulang. Pada pemeriksaan darah tepi, tampak lebih banyak mikrositik dan hipokromik dibanding eritrosit normal. Manifestasi yang berkaitan dengan anemia tidak spesifik. Gejala dan tanda yang dominan sering berkaitan dengan penyakit yang mendasarinya seperti penyakit gastrointestinal dan ginekologi, malnutrisi, kehamilan dan malabsorpsi (Hoffman, 2000; Cuningham et al, 2001). Gangguan gastrointestinal, berkaitan dengan perdarahan kronik seperti ulkus peptikum hemoragis atau karsinoma gaster, divertikulitis, kanker kolon (Friedrich, 2001). Penanganan defisiensi besi meliputi identifikasi dan terapi penyakit yang mendasari terjadinya ketidakseimbangan antara kebutuhan besi dan suplainya yang bertanggung jawab akan kehilangan besi. Penyebab terbanyak anemia defisiensi besi adalah kehilangan darah seperti pada postmenopause, metrorhagia, menorhagia, perdarahan kehamilan, dan persalinan (Cuningham et al, 2001). Kehilangan darah yang secara signifikan mengakibatkan defisiensi besi ialah hilangnya di saluran cerna. Dalam saluran cerna, berbagai lesi hemoragik mungkin berperan untuk terjadinya kehilangan darah, termasuk hernia hiatal, varises esofagus, gastritis, duodenitis, ulkus peptikum, kolelitiasis, perdarahan intrahepatik, penyakit inflamasi usus, divertikulosis, hemoroid, dan polip adenomatosa (Cuningham et al, 2001; Fernadez-Ballart, 2001).
Defisiensi besi sering sebagai tanda awal dari terjadinya keganasan saluran cerna. Pemakaian obat peroral dalam jangka waktu lama seperti alkohol, salisilat, steroid dan obat anti-inflamasi nonsteroid mungkin menjadi penyebab atau ikut berperan serta untuk terjadinya kehilangan darah. Diseluruh dunia, frekuensi tersering penyebab kehilangan darah di saluran cerna ialah infeksi cacing tambang di mana sekitar 1 miliar orang diyakini terinfeksi cacing jenis ini. Infeksi cacing lainnya seperti sistosoma mansoni, sistosoma japonikum dan yang parah ialah infeksi trikuris trikura, juga dapat menyebabkan hilangnya darah di saluran cerna. Helikobacter pilori yang merupakan penyebab gastritis, telah dicatat sebagai penyebab defisiensi besi di Alaska (Ezzati, 2002; Garcia et al., 2003). Penyebab lainnya yang jarang dari perdarahan saluran cerna adalah skurvi dengan vaskuler purpura, pankreas aberan, divertikulum Merkel, hemorrhagik telangiektasia hereditar, ektasia vaskular lain pada kolon dan poliposis kolon (Cotrans, 1999; Garry and Hoffman, 2000).

Pada wanita masa reproduksi, kehilangan darah dari sistem genitourinaria dengan menstruasi dapat meningkatkan kebutuhan besi. Kehilangan darah menstruasi cenderung menurun dengan pemakaian kontrasepsi oral tetapi meningkat dengan pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim. Penyebab lain perdarahan genitourinaria adalah keganasan uterus atau fibroid, batu saluran kemih, infark, infeksi dengan schistosoma haematobion inflamatory disease, atau keganasan traktus urinaria. Penyebab yang jarang adalah hemoglobinuria atau hemisiderinuria kronik yang ditemukan pada paroxysmal nocturnal hemoglobinuria atau chronic intravascular hemolysis (Ezzati, 2002; Garcia et al, 2003).
Kehilangan darah yang tidak umum di saluran respirasi melalui hemoptisis kronik berulang. Pada dua kondisi yang jarang, idiopathic pulmonary siderosis dan goodpasture hemoptisis syndrom dan perdarahan intrapulmoner yang mungkin merupakan perdarahan tersembunyi; tetapi lebih mengarah pada pengeluaran besi pada makrofag paru. Walaupun masih dalam tubuh, besi ini tidak dapat dipakai untuk keperluan sistemik dan dapat terjadi anemia defisiensi besi yang parah (Monzen, 1999; Means, 1999). Pada bayi, anak-anak dan dewasa kebutuhan besi untuk pertumbuhan mungkin melebihi suplai yang diperoleh dari diet dan cadangan besi. Saat lahir, persediaan besi pada bayi pada dasarnya ditentukan oleh berat badan lahir rendah dan pertumbuhan postnatal yang cepat, yang memiliki risiko tinggi terjadinya defisiensi besi jika tidak diberikan suplemen besi. Dengan pertumbuhan cepat dalam tahun pertama kehidupan, terjadi peningkatan berat badan tiga kali dan kebutuhan besi dalam mikrogram per Kg berat badan berada pada tingkat tertinggi. Kebutuhan besi menurun sejalan dengan penurunan pertumbuhan selama tahun kedua dan masa kanak-kanak namun meningkat kembali pada masa dewasa (Cuningam et al., 2001; Frederich, 2001).
Tanpa suplemen besi, kehamilan menyebabkan kehilangan darah sejumlah 1200-1500 ml. Rata-rata 270 mg besi dialirkan ke janin, 90 mg ditemukan pada tali pusat dan plasenta serta 150 mg ditemukan pada lokia dan kehilangan darah saat persalinan, sehingga total kehilangan besi lebih dari 500 mg. Selama kehamilan, eritrosit jumlahnya meningkat sehingga memerlukan hampir 500 mg besi yang akan disimpan kembali setelah persalinan. Setelah persalinan, jika bayi menyusui, laktasi memerlukan sekitar 0,5-0,1 Fe/hari (Baker, 2000; Conrad, 2003).
Gangguan absorpi besi jarang menyebabkan defisiensi besi. Pada beberapa pasien,malabsorpsi besi diusus mungkin sebagai manifestasi dari steatorea, sprue, celiac disease, diffuse enteritis. Gastritis atropika dan aklorhidria mungkin terganggu absorpi besinya. Pada beberapa orang, pica juga bertanggungjawab pada terjadinya defisiensi besi jika materi yang makannya menghambat absorpsi besi. Defisiensi besi kadang sebagai komplikasi pembedahan gaster baik partial maupun reseksi gaster total atau pada pasien gastroenterostomi. Walaupun absorpsinya buruk, preparat garam besi yang digunakan untuk terapetik biasanya diabsorpsi baik (Conrad, 2003).

2.4 Metabolisme Zat Besi
Metabolisme zat besi terdiri atas intak, absorpsi, transportasi, penyimpanan, dan utilisasi. Absopsi besi dan pengaturannya merupakan proses yang kompleks dan hanya sedikit yang dapat dipahami. Lokasi absorpsi yang paling aktif ialah duodenum namun gaster, ileum dan kolon juga ikut berpartisipasi.. Total besi normal dalam tubuh, pada perempuan 2 g dan mencapai 6 g pada laki-laki. Jumlah tersebut dibagi kedalam dua kelompok besar yaitu bagian fungsional dan cadangan. Kira-kira 80% besi fungsional terdapat dalam hemoglobin; sisanya terdapat dalam mioglobin dan enzim yang mengandung besi seperti katalase dan sitokrom. Cadangan besi berupa hemosiderin dan feritin mengandung kira-kira 15-20% total besi tubuh. Wanita muda yang sehat memiliki cadangan besi sedikit lebih rendah dibandingkan laki-laki. Oleh karena itu, perempuan tersebut lebih sering terjadi ganguan keseimbangan besi dan lebih rentan kehilangan besi atau peningkatan kebutuhan karena menstruasi dan kehamilan (Andrew, 1999).
Semua besi disimpan dalam bentuk feritin atau hemosiderin. Feritin merupakan kompleks besi-protein yang esensial dan terdapat pada hampir semua jaringan terutama dalam hepar, limfa, sumsum tulang, dan otot skletal. Dalam hepar, kebanyakan feritin disimpan dalam sel parenkim; sedangkan dalam jaringan lain seperti limfa dan sumsum tulang, terutama disimpan dalam sel fagosit mononuklear. Besi yang ada dalam hepatosit berasal dari transferin plasma, sedangakan besi yang berada dalam sel fagosit mononuklear, termasuk sel Kupffer diperoleh dari pemecahan eritrosit. Didalam sel, feritin terletak dalam sitoplasma dan lisosome, yang mana selaput protein feritin mengalami degradasi dan besi beragregasi menjadi granul hemosiderin. Dengan pewarnaan sel yang biasa, hemosiderin tampak sebagai granul berwarna kuning keemasan. Besi cepat bereaksi terhadap zat kimia sehingga ketika hemosiderin dalam jaringan ditetesi dengan potassium ferrocyanide (prussian blue reaction), granula berubah menjadi biru-hitam. Dengan cadangan besi normal, hanya sedikit hemosiderin yang ada dalam tubuh, khususnya sel retikuloendotelial dalam sumsum tulang, limfa, dan hepar. Dalam sel dengan jumlah besi berlebihan, kebanyakan besi disimpan dalam bentuk hemosiderin. (Hoffman, 2000; Cuningam et al., 2001).
Feritin berada dalam sirkulasi dalam jumlah yang sangat kecil. Feritin plasma berasal dari cadangan besi tubuh sehingga kadar feritin dapat dipakai sebagai indikator kecukupan cadangan besi tubuh. Dalam keadaan defisiensi besi, kadar feritin serum selalu berada dibawah 12 mug/L, sebaliknya pada kondisi besi yang berlebihan, nilai tertinggi mencapai 5000mug/L. Fungsi fisiologis yang penting dari cadangan besi adalah siap dimobilisasi dalam keadaan kebutuhan besi meningkat, seperti pada keadaan setelah perdarahan (Gary et al., 2000).
Besi diangkut dalam plasma oleh transferin yaitu suatu glikoprotein pengikat besi yang disintesis dalam hepar. Pada orang normal, sekitar 33% transferin tersaturasi dengan besi dan kadarnya dalam serum mencapai 120 mug/dl pada pria dan 100 mg/dl pada wanita. Dengan demikian, total kapasitas pengikatan besi dalam serum berkisar antara 300-350 mg/dl. Fungsi utama transferin plasma ialah menghantarkan besi kedalam sel, termasuk prekursor eritroid, dimana besi diperlukan untuk sintesis hemoglobin. Eritrosit imatur memiliki afinitas yang tinggi terhadap reseptor transferin dan besi dihantarkan ke eritroblast melalui endositosis yang diperantarai reseptor (Andrew, 1999; Gary et al., 2000).
Keseimbangan besi dijaga melalui pengaturan absorpsi/blokade mukosal. Faktor yang mengatur penyerapan besi ke dalam sel mukosa belum diketahui. Tingkat penyerapan tergantung pada kandungan besi tubuh, sama halnya dengan aktivitas eritropoesis, lebih khusus lagi kebutuhan besi oleh prekursor eritroid. Jika cadangan besi meningkat, prosentasi absorpsi besi menurun. Dalam keadaan eritropoesis tidak/kurang efektif seperti pada talasemia, penyerapan besi meningkat meskipun cadangan besi berlebihan. Beberapa signal harus dihantarkan ke sel mukosa untuk memodifikasi ambilan dan transfer besi. Gene Hfe (HLA-H) merupakan suatu kandidat yang mengatur absorpsi besi. Mutasi pada gen ini, ditandai oleh tidak teraturnya dan berlebihannya absorpsi besi diet yang dapat menimbulkan hemokromatosis yaitu suatu penyakit dengan karakteristik adanya kelebihan besi sistemik (Craven et al., 1987; Andrew, 1999).
2.4.1 Mekanisme absorpsi besi
Molekul yang terlibat dalam transport besi usus adalah musin yang mengikat besi dalam suasana lambung asam, yang memelihara kelarutannya sampai kemudian diambil dalam suasana alkalis di duodenum. Selanjutnya, musin yang mengikat besi melewati membran sel mukosa dalam kaitannya dengan integrin. Setelah berada dalam sel, sebuah protein sitoplasmik pengikat besi yang dikenal dengan mobilferrin, menerima besi dan menghantarkannya ke permukaan basolateral sel dan selanjutnya ditransport ke plasma. Dalam model ini mobilferrin dapat berperan sebagai suatu rheostat yang sensitif terhadap konsentrasi besi plasma. Terikatnya semua mobilferrin akan menghambat ambilan besi mukosa dan sebaliknya proses tersebut akan ditingkatkan oleh mobilferrin yang tidak tersaturasi. (Hoffman, 2000; Cuningam et al., 2001).
Teori apsorsi besi lain diajukan oleh Dancis et al, mengunakan seleksi genetik di mana suatu plasmid yaitu suatu enzim biosintesis histidin yang dikendalikan oleh iron-repressible promoter. Juga dinaytakan bahwa transport besi membran sepenuhnya bergantung pada transport tembaga. Reoksidasi feros menjadi feri, tampaknya menjadi suatu langkah yang harus terjadi dalam mekanisme transport, walaupun mekanisme coupling dari oksidasi dan transport membran belum jelas
2.4.2 Aspek genetik dalam absorpsi
Transpot besi di mukosa usus terganggu pada dua strain mutan. Microcytic (mk) tikus dan sex linked anemia (sla) tikus menderita defisiensi besi yang berat berkaitan dengan terganggunya ambilan besi dan pelepasan dari sel usus. Mice dengan mutasi mk homozigot aotosomal resesif mengabsorpsi besi secara buruk, memiliki kadar besi serum yang rendah dan terdapat sel mukosa usus yang tidak terwarnai besi. Hasil ini juga terjadi bila ada defek pada molekul transport besi di apikal. Kedua mk/mk mice tidak dapat diperbaiki dengan besi parenteral.Anemia timbuk pada mice yang normal yang ditransplantasi dengan sumsum tulang mk, hal ini mengindikasikan bahwa mk pada sel prekursor eritroid juga terjadi defek pada ambilan besi eritrosit. Komponen yang sama dalam transport besi mungkin ada pada sel usus dan prekursor eritrosit (Andrews et al, 2000).
Tikus yang homozigot atau heterogen dengan mutasi sla (sla/sla atau sla/y) juga memiliki kadar besi serum rendah. Berbeda dengan mk mice, cadangan besi abnormal dalam sel mukosa usus tinggi yang menunjukkan bahwa gangguan x-linked mengganggu aliran besi intraseluler atau pelepasan besi dari basolateral ke plasma. Sla pada hewan berbeda jauh dengan mk mice dalam hal perbaikan anemia dengan besi parenteral. Berdasarkan studi tentang mutan ini, sistem transport besi di basolateral dan apikal mungkin berperan dalam transfer besi dari lumen usus ke plasma (Gary et al., 2000).
Bagaimanapun mekanisme ambilan besi, normalnya hanya sekitar 10% besi memasuki doodenum untuk diabsorpsi dan meningkat pada keadaan defisiensi besi. Berbeda halnya dalam keadaan kelebihan besi, hal ini akan menurunkan tetapi tidak membatasi absorpsi, dan ini membenarkan teori bahwa absorpsi besi diatur oleh cadangan besi tubuh. Pada keadaan anemia dan hipoksia, absorpsi besi akan sangat meningkat. Besi yang memasuki sel mukosa tetap berikatan dengan ferritin. Besi usus intrasel hilang ketika sel epitel terlepas dari traktus gastrointestinal. Besi sisanya melewati sel mukosa untuk berikatan dengan tranferin dan selanjutnya menuju sirkulasi (Andrew, 1999; Gary et al., 2000).
2.4.3 Eritropoesis dan absorpsi besi
Kira-kira 80% dari total besi tubuh memasuki hemoglobin eritrosit. Rerata pada orang dewasa, produksi eritrosit sebanyak 2 x 1011 per hari, dan untuk pembaharuan eritrosit sekitar 0,8% per hari. Setiap eritrosit mengandung lebih dari 1 miliar atom besi dan tiap ml eritrosit mengandung 1 mg besi. Untuk memenuhi kebutuhan harian ini diperlukan sebanyak 2 x 1020 atom (atau 20 mg) elemen besi dan tubuh telah mengembangkan mekanisme pengaturan yaitu eritropoesis yang mempengaruhi absorpsi besi. Plasma iron turnover (PIT) menggambarkan turnover ikatan besi-transferin di sirkulasi dalam satuan mg/kg/hari. Percepatan eritropoesis meningkatkan turnover besi plasma, yang berkaitan dengan dorongan ambilan besi dari traktus gastrointestinal.
Faktor sirkulasi berkaitan dengan eritropoesis yang memodulasi absorpsi besi belum diidentifikasi. Beberapa faktor yang diduga terlibat adalah peranan transferin dan eritropoetin. Manifestasi klinis timbul karena adanya komunikasi antara sumsum tulang dan usus termasuk dalam keadaan kelebihan besi yang tampak pada pasien thalasemia berat tanpa transfusi. Percepatan eritropoesis pada kondisi ini meningkatkan absorpsi besi. Pada beberapa kasus, coupling dari peningkatan PIT dan absorpsi besi gastrointestinal sangat berguna. Pada kehamilan, plasenta memindahkan besi dan ini meningkatkan PIT. Proses ini mendorong absorpsi besi gastrointestinal sehingga meningkatkan availabilitas element untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan fetus (Hoffman, 2000). Absorpsi besi juga dipengaruhi oleh logam berat seperti mangan, kobalt, dan zinc .

2.4.4 Transportasi besi
Hanya dalam proporsi kecil dari total besi tubuh per hari yang masuk atau meninggalkan cadangan besi. Akibatnya, transport besi intrasel, sebagai bagian dari proses penggunaan kembali besi, secara kuantitatif lebih penting daripada absorpsi usus. Massa terbesar besi terdapat dalam erithroid yaitu sekitar 80% dari total besi tubuh. Sistem retikuloendotelial meresikel sejumlah besi dari eritrosit tua, kira-kira mencapai jumlah yang digunakan erithron untuk produksi hemoglobin baru.

2.4.5 Transferin
Hampir mencapai 3 gram besi tubuh yang ada pada pria dewasa, sekitar 3 mg atau 0,1% berada dalam sirkulasi. Normalnya, semua besi yang berada dalam sirkulasi terikat dengan transferin. Ikatan ini memiliki 3 tujuan yaitu mempertahankan besi larut dalam kondisi fisiologis, mencegah terjadinya toksisitas oleh radikal bebas besi, dan memfasilitasi transport besi kedalam sel. Transferin merupakan sumber besi fisiologis yang paling penting untuk eritrosit. Hepar mensintesis transferin dan mensekresinya ke dalam plasma. Transferin juga diproduksi di testes dan CNS. Kedua organ ini relatif tidak bisa dilalui oleh protein dalam sirkulasi darah: barier testis, darah; barier otak. Sintesis lokal transferin dapat berperan dalam metabolisme besi dalam jaringan tersebut (Hoffman, 2000).
Transferin plasma merupakan glikoprotein 80 kDa dengan homolog N-terminal dan C-terminal, domain pengikat besi. Molekul ini berkaitan dengan beberapa protein lain, termasuk ovotrasnferrin. Ovotrasnferrin mungkin membantu melindungi perkembangan embrio dalam semi-permeable egg dengan cara mengikat besi yang diperlukan untuk pertumbuhannya. Laktoferin yang berasal dari sekresi ekstraseluler dan granula neutrofil dan melanotransferrin (p97), suatu protein yang menghasilkan sel melanoma. Laktoferin, dalam sekresi ASI dan air mata, mungkin memiliki fungsi yang sama dan dapat berperan sebagai protein pengikat DNA yang spesifik yang memperantarai aktivasi transkripsi (Craven et al., 1987).
2.4.6 Pengikatan besi oleh transferin
Mekanisme besi yang terikat pada transferin meningkalkan sel epitel usus atau sel retikuloendotelial belum diketahui. Copper-dependent ferroxidase yaitu seruloplasmin diduga memainkan peran. Terdapat bukti bahwa protein tersebut terlibat dalam mobilisasi cadangan besi jaringan yang selanjutnya digunakan untuk membentuk transferin diferik (Harris et al., 1995).
Transferin mengikat besi dengan disosiasi konstan yaitu sekitar 1022 M-1. Besi feri terikat pada transferin hanya dalam keadaan dimana terdapat suatu anion (biasanya carbonat) yang menyediakan sebuah jembatan ligan antara metal dengan protein. Tanpa kofaktor anion, ikatan besi ke transferin tidak terjadi. Dengan kofaktor tersebut, transferin ferri resisten terhadap semua celator khususnya celator yang poten. Empat buah sisi koordinasi lainnya dibentuk oleh protein transferin-nitrogen histidin, asam aspartat yang terkarboksilasi oksigen dan dua buah tyrosine phenolate oxygens (Anderson et al.,1989).

2.4.7 Ferokinetik dan sumsum tulang
Peranan sumsum tulang dalam kliren besi berlabel dari sirkulasi, ferokinetik menyediakan sebuah ruang dalam aktivitas eritropoetik. Kondisi yang meningkatkan produksi eritrosit akan meningkatkan PIT. Misalnya,anemia hemolitik seperti sperocytosis herediter dan penyakit sel sikle menginduksi hantaran ikatan besi-transferin ke sumsum tulang dengan cepat. Berbeda dengan gangguan yang dapat mengurangi produksi eritrosit akan memperpanjang PIT. Hal ini terlihat,misalnya pada Diamond blackfan anemia.
Ketika eritrosit diproduksi dan dilepaskan ke sirkulasi maka proses eritropoesis dikatakan efektif. Pada pasien dengan anemia hemolitik tertentu, eritrosit yang berkembang abnormal dihancurkan sebelum meninggalkan ruangan sumsum tulang. Dalam keadaan ini eritropoesis dikatakan inefektif, yang berarti bahwa prekursor eritropoetik telah gagal melakukan tugasnya yaitu hantaran eritrosit utuh ke dalam sirkulasi. Profil ferokinetik seperti yang ditunjukkan dengan cepatnya perpindahan besi dari transferin dengan terlambatnya masuknya besi berlabel kedalam hemoglobin eritrosit dalam sirkulasi.Talasemia ß+ merupakan contoh penting dengan anemia hemolitik yang disertai eritropoesis inefektif. Pada kasus talasemia ß,eritropoesis inefektif disertai dengan peningkatan PIT (Andrew, 1999).

2.4.8 Ambilan besi sel
Kompleks besi-transferin diinternalisasi melalui proses endositosis yang diperantarai reseptor. Struktur homodimer transfrin yang dihubungkan dengan ikatan disulfida mengandung 760 asam amino. Oligosakarida terhitung sekitar 5% dari massa molekul subunit 90 kDa. Empat sisi glikosilasi (tiga buah N-linked dan sebuah O-linked) melintasi protein. Mutan dengan defek pada glikosilasi memiliki jembatan disulfida lebih sedikit, ikatan transferin kurang efisien dan kurang tampak dipermukaan sel dibandingkan reseptor normal (Hoffman, 2000).
Domain transmembran, antara asam amino 62 dan 89, berfungsi sebagai signal peptida internal tanpa N-terminal. Sebuah molekul asam lemak (biasanya palmitat) menghubungkan tiap subunit secara kovalen dengan ujung internal dari domain transmembran dan berperan dalam lokalisasi membran. Mutan yang tak terasilasi memperantarai ambilan besi lebih cepat daripada reseptor normal (Means, 1999; Hoffman, 2000).
Besi memasuki sel melalui endositosis yang diperantarai reseptor dan berasal dari transferin monoferik dan diferik. Reseptor yang berada diluar permukaan membran plasma mengikat transferin yang mengandung besi dengan afinitas yang tinggi. Domain C-terminal dari transferin tampaknya memperantarai ikatan reseptor. Transferin diferik memiliki afinitas yang lebih tinggi dibandingkan transferin monoferik atau apotransferin. Konstanta disosiasi (Kd) untuk ikatan transferin diferik berkisar antara 10-7M sampai 10-9m pada pH fisiologis, tergantung spesies dan jaringan. Transferin monoferik memiliki nilai Kd mencapai 10-6M. Konsentrasi transferin dalam sirkulasi sekitar 25 µM. Oleh karena itu reseptor transferin biasanya dalam keadaan tersaturasi penuh. Setelah berikatan dengan reseptornya dipermukaan sel, transferin menalami internalisasi melalui invaginasi dari clathrin-coated pits yang mengandung vesikel endositik. Proses ini memerlukan paling sedikit 61 asam amino intrasel yang berada dalam molekul reseptor transferin dan reseptor dengan domain N-terminal sitoplasmik tidak mengalami re-siklus serta molekul ini mengandung sekuens tyrosine-threonin-arginin-phenilamine (YTRF) (Rothenberger et al.,1987).
Besi adalah sebuah nutrien esensial yang diperlukan oleh setiap sel manusia. Sebagai logam transisi (nomoer atom 26, berat atom 55,85), besi dapat berperan sebagai pembawa oksigen dan elektron serta sebagai katalisator untuk oksigenisasi, hidroksilasi dan proses metabolik lainnya, melalui kemampuannya berubah bentuk antara fero (Fe2+) dan fase oksidasi Fe3+. Besi adalah elemen biokatalitik yang paling penting dalam enzymologi manusia, dengan peran utamanya dalam metabolisme oksidatif, proliferasi dan pertumbuhan sel serta penyimpanan dan transfortasi oksigen.
Besi ditransportasi dan disimpan bukan sebagai kation bebas tapi dalam bentuk Fe yang terikat. Pada iron porphyrin kompleks dan metalloenzymes, reaktivitasnya yang berguna dalam proses metabolik membuat inorganic iron compounds maupun bentuk ionnya berpotensi menjadi berbahaya. Besi ionik dapat berpartisipasi dalam berbagai reaksi yang menghasilkan radikal bebas yang dapat merusak sel (Andrew, 1999).
2.5 Besi diet
Besi fungsional ditampilkan pada red blood cells sebagai hemoglobin, disediakan untuk simpanan oxygen jaringan sebagai myoglobin dan untuk metabolisme aerobik seluler pada cytochromes. Besi utama di simpan pada jaringan sebagai ferritin atau hemosiderin dan ditransportasi oleh transferrin protein. Kekurangan besi dihasilkan dari keseimbangan antara intake, kehilangan dan cadangan jaringan. Kebutuhan besi normal, adalah 5 sampai 10 mg/hari. Jumlah besi diabsorbsi dari diet (<1% to >80%) diregulasi oleh gastrointestinal tract dan tergantung pada kecukupan cadangan besi. Angka penyerapan sekitar 18% untuk wanita tidak hamil selama usia menyusui (Mencerminkan cadangan besi rendah pada wanita dihasilkan dari menstruasi dan kehamilan). Bioavailability diet ditentukan oleh kandungan besi, melalui penampilan inhibitors penyerapan seperti pitat pada roti, tanin pada teh, dan polyphenol pada sayuran, dan melalui penampilan enhancers seperti besi heme pada daging merah, ikan, dan vitamin C. Rata-rata penyerapan harian besi dari diet orang barat 1 to 2 mg/d. Variasi cadangan besi dari 1.0 to 1.4 gram besi tubuh pada laki-laki dan 0.4 gram pada wanita.
Kehilangan besi obligatori dari sel desekuamosi kulit, mucosal cell turnover, dan kehilangan physiologic gastrointestinal 1 mg/hari. Defisiensi besi mungkin diharapkan dari kehilangan 5 - 10 mL/hari, sebanding dengan 2.5 - 5 mg/hari dari besi. Kehilangan besi selama tahun menyusui sejumlah 0.3 - 0.5 mg/hari. Untuk ini tambhan kehilangan disebabkan kehamilan dan melahirkan sekitar 3 mg/hari untuk 280-hari kehamilan (840 mg besi). Lebih dari 2 tahun dari intake diet normal dibutuhkan untuk menutupi kehilangan besi setiap kehamilan. Lebih dari 500 mg dari besi simpanan dibutuhkan untuk menanggulangi defisiensi besi selama kehamilan. Level ini diperlihatkan hanya 20% pada wanita, 40% pada wanita memiliki cadangan 100 to 500 mg, dan 40% wanita tidak memiliki besi simpanan. Kebutuhan untuk peningkatan besi dari 0.8 mg/hari awal kehamilan ke 7.5 mg/hari pada akhir kehamilan. Peningkatan penyerapan besi selama kehamilan, paling sedikit 20% pada wanita tidak dapat suplemen memiliki anemia defisiensi besi. Kehamilan multiple secara cepat menambah kekurangan besi. Susu tempat suatu penambahan pada cadangan besi ibu dengan kehilangan 0.5 - 1.0 mg/hari.
2.6 Besi Cadangan
Tingkat besi serum menurun selama kehamilan mencerminkan haemodilusi, sejak jumlah besi beredar total pada kehamilan dan wanita tidak hamil sama meskipun ambilan plasenta terhadap besi tinggi. Tingkat transferrin meningkat selama kehamilan mencerminkan peningkatan 2.5 kali pada transferin sirkulasi total. Selama peningkatan transferin serum adalah tanda kekurangan besi, ini juga dipercaya mengindikasikan peningkatan erythropoiesis. Sintesis protein plasma pada liver meningkat dibawah pengaruh hormon oestrogenic dan mungkin tidak berhubungan pada perubahan lain dalam metabolisme besi; peningkatan transferin serum diserap ketika suplementasi besi efektif. Sesuai dengan penurunan pada besi serum dan peningatan pada saturasi % transferin serum turun selama kehamilan ke level (transferrin saturation <16%) yang wanita tidak hamil akan mengindikasikan kekurangan besi.
Ferritin serum langsung menghubungkan level besi tubuh. Ini dipercaya berlaku pada wanita tidak hamil dan wanita hamil. Ini telah mengarahkan pada perbedaan dari 1 µg/L pada ferritin serum sebanding dengan 8-10 mg dari besi simpanan pada dewasa normal. Studi perubahan konsentrasi feritin serum mengindikasikan bahwa penurunan terjadi antara minggu 12 dan 15 dari kehamilan, dan relatif konstan setelah minggu 32 . Peningkatan feritin serum pada trimester III tidak selalu normal. Ini juga diobservasi dalam kasus keracunan pada kehamilan, dimana kemungkinan hasil dari buangan liver dan hipertensi mempengaruhi kehamilan atau eklampsia. Perluasan volume plasma akan berefek pada level feritin serum. Konsentrasi feritin serum meningkat cukup cepat pada periode post-partum.

2.7 Suplementasi Besi
Pemberian suplementasi besi memperbaiki status besi ibu. Peningkatan Hb, hematokrit, MCV, feritin serum dan saturasi transferin biasanya terjadi dalam 3 bulan serta kejadian deplesi cadangan besi ibu berkurang ketika mendapatkan suplementasi besi. Tablet besi disarankan diberikan 30 mg besi perhari berlaku untuk semua wanita hamil tanpa memandang status besi oleh karena manfaatnya bagi kesehatan ibu dan anak serta kesulitan dan biaya yang diperlukan untuk menetapkan diagnosa defisiensi besi selama kehamilan. Dosis 30 mg perhari diberikan karena alasan efisiensi absorpsi besi menurun pada dosis yang lebih tinggi. Dengan dosis tersebut diharapkan dapat memenuhi kebutuhan besi 6 mg yang terabsorbsi perhari. Pada dosis yang lebih tinggi dapat menimbulkan efek samping seperti diare, konstipasi, mual, nyeri dada seperti terbakar dan nyeri pada abdomen. Suplementasi harus diberikan pada trimester ke 2 dan 3, saat efisiensi absorbsi meningkat dan risiko terjadinya mual muntah berkurang. Untuk di Indonesia, depkes menyarankan pemberian tablet besi pada semua wanita hamil sekitar 60 mg perhari selama 90 hari sedangkan pada wanita prematernal tablet besi diberikan 60 mg selama 16 minggu.

2.8 Diagnosis Anemia Defisiensi Besi
Diagnosis anemia defisiensi besi berdasarkan pemeriksaan laboratorium. Penurunan hemoglobin dan hematokrit pada level sedang, dikaitkan dengan hipokromia, mikrositik dan poikilositosis. Serum besi dan feritin rendah dan total iron binding capacity (TIBC) meningkat yang menggambarkan konsentrasi transferin tinggi. Besi serum yang rendah dan TIBC yang tinggi mengakibatkan penurunan kadar saturasi transferin dibawah 15%. Reseptor transferin terletak dipermukaan sel diperlukan untuk mengangkut besi kedalam sel. Tingkat reseptor transferin berkaitan dengan jumlah besi serum. Pada defisiensi besi, kadar reseptor transferin dan bentuk terlarutnya dalam sirkulasi meningkat. Kadar reseptor transferin dalam serum dapat untuk mendiagnosis defisiensi besi, akan teatapi cara tersebut tidak dipergunakan secara luas. Penurunan sintesis heme meningkatkan jumlah protoporfirin .
2. 8.1 Pengukuran secara langsung
Pengukuran status besi secara langsung menghasilkan hasil kuantitatif, spesifik dan penentuan yang sensitif dari cadangan besi. Kuantitatif flebotomi merupakan cara pengukuran langsung dari total besi yang dimobilisasi dari cadangan besi. Pengulangan vena seksi untuk mengambil 500 ml darah setiap minggu, dikerjakan sampai konsentrasi Hb dibawah 10 g/dl selama 2 minggu tanpa plebotomi lebih lanjut. Mobilisasi cadangan besi kemudian dikalkulasikan seperti jumlah Hb yang dikeluarkan, dengan koreksi pada defisit Hb dan perkiraan absorpsi besi disaluran cerna selama dilakukan flebotomi. Kuantitatif flebotomi tidak dapat diaplikasikan pada kebanyakan gangguan anemia tapi hal ini biasanya berguna pada evaluasi diagnostik dari beberapa bentuk kasus kelebihan besi seperti pasien dengan hemokromatosis herediter yang tidak dapat dilakukan biopsi hati. Biopsi dan aspirasi sumsum tulang dapat diperoleh informasi mengenai (1) Cadangan besi makrofag, melalui grading semikuatitatif dari hemosiderin sumsum tulang yang telah diwarnai dengan prussian blue atau jika diperlukan melalui pengukuran kimiawi dari besi nonheme; (2) suplai besi ke prekursor eritroid, dengan menentukan proporsi dan morfologi dari sideroblas sumsum tulang (yaitu normoblas dengan agregat besi yang tampak disitoplasma); (3) gambaran hematopoesis secara umum. Biopsi dan aspirasi sumsum tulang sangat berguna dalam studi deeefisiensi besi tapi aplikasinya terbatas untuk mengevaluasi kelebihan besi karena tidak ada informasi mengenai luasnya deposisi besi parenkimal. Dalam evaluasi kelebihan besi, biopsi hati merupakan test tidak langsung yang terbaik untuk mengetahui deposisi besi, pengukuran kuantitatif dari konsentrasi besi nonheme serta pengujian histokimiawi dari pola akumulasi besi di hepatosit dan sel Kuffer.Prosedur pengukuran secara langsung ini sedikit mengecewakan karena bersifat invasif, cenderung tidak nyaman, pasien biasanya menolak, dan risiko dari biopsi hati. Beberapa pengukuran cadangan besi jaringan noninvasif sedang dikembangkan, termasuk CT dan MRI namun kini belum satupun dapat digunakan untuk klinis (Means, 1999; Hoffman, 2000).
2.8.2 Pengukuran tidak langsung
Pengukuran tidak langsung status besi lebih mudah dan lebih senang dikerjakan tetapi dipengaruhi oleh pengaruh luar dan kurang spesifik, kurang sensitif atau keduanya. Pengukuran feritin plasma lebih berguna untuk mengukur cadangan besi tubuh. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, feritin disekresi kedalam plasma dalam jumlah sedikit. Walaupun feritin intraseluler diproduksi oleh retikulum endoplasmik halus, feritin plasma disintesis oleh retikulum endoplasmik kasar dan diglikosilasi oleh aparatus Golgi. Dalam keadaan normal, jumlah feritin plasma yang disintesis dan disekresi tampaknya sebanding dengan jumlah feritin yang diproduksi pada jalur cadangan besi tubuh, sehingga konsentrasi feritin plasma berkaitan dengan cadangan besi tubuh. Feritin disekresi dalam jumlah sedikit ke dalam sirkulasi dan dapat diukur dengan immunoassay serta mempunyai hubungan logaritmik dengan cadangan besi tubuh pada individu normal. Tanpa adanya faktor penyulit, konsentrasi feritin plasma menurun disertai penurunan cadangan besi dan peningkatan akumulasi cadangan besi. Jumlah maksimun g/L,konsentrasi feritin plasma yang mengalami glikosilasi yaitu sekitar 4.000 mungkin menggambarkan batas atas dari sintesis fisiologi; konsentrasi yang lebih tinggi menyebabkan pelepasan feritin intrasel dari eritrosit yang rusak .
Pengukuran konsentrasi reseptor transferin bermanfaat untuk mendeteksi defisiensi besi. Reseptor transferin yang larut merupakan bentuk truncated form (Mr 85.000) dari reseptor transferin jaringan yang mengandung domain sitoplasmik N-terminal yang mungkin saja dilepaskan melalui proses proteolisis dari membran sel. Imunoasay dapat mendeteksi bentuk ini pada plasma manusia dan ini menjadi hal yang mungkin untuk dikerjakan untuk kepentingan klinis. Walaupun masih banyak hal yang perlu dipelajari mengenai reseptor transferin plasma, kebanyakan berasal dari eritroid sumsum tulang serta konsentrasi reseptor transferin yang larut di dalam sirkulasi, pada dasarnya hal yang tersebut sebelumnya ditentukan oleh aktivitas eritroid sumsum tulang. Penurunan kadar reseptor transferin yang larut ditemukan pada pasien dengan hipoplasia eritroid (anemia aplasti,gagal ginjal kronis) dan peningkatan kadar ditemukan pada pasien dengan hiperplasia eritroid (talasemia major, anemia sel sikel, anemia hemolitik kronis). Defesiensi besi juga meningkatkan konsentrasi reseptor transferin yang larut, walaupun hal ini belum jelas, seberapa jauh akibat dari peningkatan reseptor transferin plasma pada eritroblas atau sederhananya, bagaimana kaitannya dengan derajat anemia serta stimulasi eritropoetin. Pengalaman klinis mengindikasikan bahwa konsentrasi reseptor transferin plasma merefleksikan seluruh total reseptor yang ada dalam tubuh atau jaringan sehingga pada keadaan dimana hiperplasia eritroid tidak terjadi, adanya peningkatan konsentrasi digunakan sebagai indikator yang sensitif dalam pengukuran defisiensi besi jaringan. Pada kesempatan yang sama, pengukuran konsentrasi reseptor transferin plasma mungkin dapat membantu membedakan antara anemia defisiensi besi dengan anemia yang berkaitan dengan penyakit inflamasi kronik. Walaupun konsentrasi reseptor feritin plasma mungkin meningkat secara disproporsional dalam hubungannya dengan cadangan besi pada pasien dengan penyakit hati atau keradangan, konsentrasi reseptor transferin plasma tampaknya tidak dipengaruhi oleh keadaan tersebut sehingga tampil sebagai indikator laboratorium yang lebih reliabel untuk defisiensi besi. Pengukuran konsentrasi reseptor transferin plasma tidak digunakan untuk deteksi kelebihan besi.
Pengukuran ekskresi besi dalam urin dengan menggunakan chelating agent, biasanya desferioksamine atau diethylenetriamine pentaacetate (DPTA) sebagai tawaran untuk mengetahui cadangan besi tubuh. Tes ini tidak banyak membantu deteksi defisiensi besi karena adanya tumpang tindih antara nilai pada individu normal dan penurunan cadangan besi; hal ini diutamakan dipakai untuk mengevaluasi kelebihan besi. Manfaat dari pengukuran dengan menggunakan chelating agent terbatas oleh karna korelasi yang lemah antara ekskresi chelatable iron dan hasil dari kuantitatif flebotomi pada kasus kelebihan besi di parenkim serta kemungkinan test tersebut dipengaruhi oleh faktor luar seperti infeksi, inflamasi, tingkat dan efektifitas eritropoesis, hematopoesis ekstramedula, penyakit hati dan defisiensi asam askorbat .
Erythrosit zinc protoporphyrin sebagai indikator suplai besi ke prekursor eritroid. Dalam biosintesa heme, reaksi terakhir ialah proses chelation dari ion fero oleh protoporfirin IX. Jika tidak ada besi, maka zinc yang akan membentuk zinc protoporphyrin. Karena zinc protoporphyrin terbentuk selama perkembangan eritrosit sehingga ini akan tampak sepanjang hidup eritrosit tersebut, konsentrasi darah berubah hanya saat sel baru dibentuk serta dihancurkannya sel tua, memperlihatkan suatu pandangan retrospektif mengenai suplai besi setelah beberapa minggu sebelumnya. Peningkatan erythrosit zinc protoporphyrin ( kadang diukur sebagai ratio zinc protoporphyrin/heme) kurang spesifik karena konsentrasinya meningkat tidak hanya ditemukan pada defisiensi besi tetapi juga kondisi lain yang membatasi availabilitas besi seperti infeksi, inflamasi, keganasan serta defisiensi ascorbat. Peningkatan juga terjadi pada anemia sideroblastik dan khususnya yang disertai lead poisoning kronis. Test ini berguna untuk mendeteksi lead poisoning namun tidak bernilai dalam deteksi kelebihan besi (Halberg and Hutten, 1999; Gary, 2000).

Pengujian darah perifer untuk mengetahui konsentrasi Hb, hematokrit, red cell indices, volume distribusi eritrosit serta hitung retikulosit atau melakukan inspeksi bentuk eritrosit yang menggambarkan abnormalitas hanya setelah berkurangnya cadangan besi sehingga besi untuk eritropoesis terbatas. Perubahan ini tidak spesifik untuk defisiensi besi oleh karna mungkin bisa terjadi pada kondisi lain yang disertai sintesa hemoglobin yang tidak sempurna seperti talasemia, infeksi, inflamasi, penyakit hati dan keganasan. Kelebihan besi tidak menghasilkan abnormalitas pada darah tepi untuk keperluan diagnostik. Diagnosis anemia besi ditegakkan berdasarkan atas (Ioannou et al., 2003):
1. Kadar hemoglobin kurang dari 12 g/L. Terdapat beberapa gradasi anemia menurut kadar hemoglobin (Hb) yaitu: anemia berat (Hb 1-3g/L), anemia sedang (Hb < 9g/L, dan anemia ringan (Hb 9-11 g/L).
2. Hipokromik mikrositer darah tepi yaitu mean corpusclulair volume (MCH) dan mean cospusculair hemoglobin concentration (MCHC) dan red cell distribution width (RDW). Kadang kala penanpakan hipokromik mikrositer tidaklah jelas, oleh karena itu sensitivitas dan spesifitas ke dua faktor ini masing-masing 83,5 % dan 78,8% untuk MHC dan 79,4% dan 80,1% untuk MHCH.
3. Kadar serum feritin < 12µg/L. Sensitivitas dan spesifitasnya untuk menegakkan diagnosis anemsia defisiensi besi adalah masing-masing 87,9% dan 85,5% . Cara ini dinilai memiliki tingkat validitas dan reabilitas tertinggi dibandingkan dengan cara lain serta mampu laksana.

Cadangan dan suplai besi tubuh dapat dievaluasi secara langsung ataupun tidak langsung namun tidak ada indikator tunggal atau kombinasi dari indikator yang ideal untuk mengevaluasi status besi pada semua keadaan klinis. Penurunan besi tubuh ditemukan pada defisiensi besi atau peningkatan besi dalam jumlah besar ditemukan pada kelebihan besi. Setiap indikator mungkin dipengaruhi oleh kondisi lain seperti infeksi, inflamasi, penyakit hati, keganasan atau malnutrisi sehingga harus diinterpretasikan dengan hati-hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar